Muhammad bin Alib, Pemantun di Acara Perkawinan Adat Melayu

Diundang sampai Negeri Jiran, Sisipkan Humor Agar Tak Garing

Muhamamd bin Alib di rumahya, Kelurahan Tanjung Sari, Belakang Padang. Foto: Asrul Rahmawati.
Muhamamd bin Alib di rumahya, Kelurahan Tanjung Sari, Belakang Padang. Foto: Asrul Rahmawati.

Adat melayu tak bisa dipisahkan dari tradisi berpantun. Para pejabat pemerintahan pun jarang alpa mengucapkan deretan bait kata yang memiliki sampiran dan isi tersebut. Demikian pula pada helat perkawinan, berbalas pantun menjadi tradisi yang masih subur.

ASRUL RAHMAWATI
Batam

Kalau tuan ke rumah Pak Zainal
Belikan saya si ikan pari
Kalau encik dan tuan-tuan mau kenal
Saya ini Muhammad dari pihak laki-laki

 

Pantun di atas diucapkan Muhammad tanpa membuat corat-coret lagi di kertas. Tampaknya ia sudah terbiasa merangkai kata semacam itu di kepalanya. Maklum, saban ada helat perkawinan di Belakangpadang, ia sering dipanggil memantun, mewakili pihak lelaki maupun perempuan.

“Tidak hanya di sini (Belakangpadang), saya juga sering dipanggil memantun di Batam. Dulu saya pernah diajak memantun sampai ke Malaysia dan Singapura,” ungkap laki-laki kelahiran 1946 ini.

Bapak dari 6 anak yang tinggal di Kelurahan Tanjungsari, Kecamatan Belakangpadang ini mulai memantun di acara perkawinan sejak 1980-an. Waktu itu ia masih tinggal dan menjadi Ketua RW di Pulau Pemping, salah satu pulau yang ada di Belakangpadang. Saat ada warganya yang sedang menikahkan anaknya, tiba-tiba ia diminta memantun.

“Kebetulan saya hadir di sana, lalu mendadak diminta mewakili pihak pengantin laki-laki, sedangkan pihak pengantin perempuan berasal dari Galuh,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, awal Agustus lalu.

Dia mengaku awalnya tidak tahu harus membalas ketika pihak lawan melontarkan pantun. Tapi kemudian ia memberanikan diri untuk menjawab dengan merangkai kata-kata, meski harus bertanya terlebih dahulu kepada orang yang ada di kanan kirinya.

Usai hari itu, lama kelamaan ia banyak kenal dengan orang-orang yang pandai berpantun dari Batam. Katanya yang banyak itu berasal dari Tanjunguma. Dari mereka ia belajar memantun, sampai kemudian pindah ke kelurahan tempat tinggalnya sekarang. Saat ada kepala sekolah yang keponakannya akan menikah, ia kembali diminta menjadi pemantun.

“Saya mewakili pihak laki-laki. Saat itulah saya bertemu Haji Musa, pemantun yang sering dimintai tolong oleh masyarakat di sini,” kata kakek dari 10 cucu ini.

Setelah kenal dengan Haji Musa, mereka kemudian sering menjadi pasangan pemantun yang mewakili pihak laki-laki dan perempuan. Ia makin semangat, apalagi kemudian sering diajak kemana-mana.

“Saya diajak ke Pekanbaru, lalu ke Malaysia dan Singapura untuk memantun pada prosesi pesta perkawinan adat Melayu,” ujarnya.

Banyak pengalaman yang ia rasakan selama menjadi pemantun. Suatu hari ia diundang memantun di Durai, Karimun. Saat sedang memantun, awalnya lancar. Namun kemudian di pertengahan, ia merasa kosong dan tidak bisa bicara apa-apa

Tiap kali berpantun kadang ia memang merasa moodnya naik dan turun. Tapi tidak pernah sekalipun terjadi seperti itu, sehingga waktu itu acara diteruskan tanpa berpantun, langsung ulur bersambut.

Kejadian seperti itu pernah terjadi, tapi tidak sering. Biasa ia mengantisipasinya dengan melontarkan kelakar agar tidak garing, karena tidak semua masyarakat menyukai pantun. Ada yang ingin berlama-lama menyaksikan waktu berbalas pantun, tapi ada juga yang ingin singkat-singkat saja.

“Tergantung tuan rumahnya. Saya tidak pernah mendurasikan harus mantun berapa menit, semua tergantung situasi dan kondisi,” ungkapnya.

Sejauh ini ia mengaku tak pernah menetapkan tarif jika diundang sebagai pemantun. Ia dibayar sukarela. Rata-rata pengguna jasanya di Belakangpadang memberikan Rp150 ribu hingga Rp250 ribu. Tapi yang di luar Belakangpadang, kadang ada yang memberikan hingga Rp300 ribu.

“Saya tidak menetapkan berapa jumlahnya untuk daerah di luar Belakangpadang, yang penting saya dijemput sampai pelabuhan,” katanya sambil tertawa.

Hingga kini sudah ratusan pasang pengantin yang menggunakan jasanya dalam berpantun. Tiap kali beda pasangan, ia selalu melontarkan pantun yang berbeda pula. Ia tak pernah latihan sebelum acara. Baginya, kata-kata itu begitu saja muncul di kepalanya. Inspirasi untuk bahan pantun bisa dari mana saja, termasuk dari benda-benda hantaran yang dibawa mempelai laki-laki. (*)

Leave a comment